Selasa, 11 Oktober 2011

Faktor Penyebab Ghuruur : Menganggap Sebagai Manusia Suci

Sebagai manusia tentunya tidak ada yang tidak memiliki dosa atau bersifat ma'shum (terpelihara dari dosa). Secara implisit Allah Ta'ala telah menyinggung hal ini lewat firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ ﴿٥٧﴾ وَالَّذِينَ هُم بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ ﴿٥٨﴾ وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ ﴿٥٩﴾ وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ ﴿٦٠﴾ أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ ﴿٦١﴾
"Sesungguhnya orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman terhadap ayat-ayat Tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Tuhan mereka (dengan sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberi apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (QS. Al-Mu'minun [23] : 57-61)
Sayyidah Aisyah ra telah mengangkat pertanyaan tentang maksud ayat diatas kepada Rasulullah saw.
"Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan ayat Allah yang berbunyi, 'Dan orang-orang yang memberi apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut' adalah mereka yang mencuri, berzina, minum-minuman keras, tetapi mereka takut kepada Allah?" Rasulullah saw menjawab, "Tidak demikian, wahai putri Ash-Shiddiq. Maksudnya ialah orang yang mengerjakan shalat, berpuasa, bersedekah, tetapi ia takut (kalau amalnya tidak diterima) Allah." (HR. Tirmidzi)
Rasulullah shallahu alaihi wassalam menjelaskan bahwa yang harus menjadi sandaran bagi kita atas semua pekerjaan kita adalah fadhilah (keutamaan) Allah dan rahmat-Nya, bukan kepada bentuk amalnya. Sebagai sabda beliau:
"Kamu tidak akan selamat hanya oleh amalanmu belaka". Mendengar hal itu para sahabat bertanya, "Apakah hal demikian berlaku pula pada engkau, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Ya, akupun demikian, kecuali Allah melingkupiku dengan rahmat-Nya, waktu pagi dan sore hari, dan sebagian dari waktu malam, niscaya engkau akan sampai ke tujuan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Mas'ud ra memberikan penjelasan secara lebih gamblang tentang masalah tersebut tatkala ia menerangkan pengaruh mengingat dosa dan melalaikan kesalahan terhadap sikap seorang Muslim:
"Seorang Mukmin adalah yang melihat dosanya seperti seseorang yang sedang duduk di bawah gunung dan ia takut gunung itu akan runtuh menimpa dirinya. Akan tetapi, orang yang faajir (durhaka) adalah yang melihat dosanya sebesar lalat yang lewat depan hidungnya, kemudian mengatakan, "begini" (maksudnya ia halau dengan tangannya)." (HR. Bukhari)
Cenderung Kepada Dunia
Ada sebagian aktivis yang mengerti bahwa dirinya akan diuji dengan bahaya 'ujub, namun karena dia memiliki sifat cenderung kepda dunia dan tengah terlena dalam kenikmatanny, serta senantiasa mengundur-ngundurkan untuk segera bertobat, akibatnya penyakit 'ujubnya itu terus berkembang lebih fatal lagi menjadi penyakit 'ghuruur'. Faktor yang merangsang sikap seperti itu telah dijelaskan dalam al-Qur'an, yakni akibat dari sikap berlebihan dalam memandang kehidupan dunia. Firman Allah Ta'ala:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴿٢٠﴾
"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur." (QS. al-Hadiid [57] : 20)
Firman-Nya yang lain:
وَاضْرِبْ لَهُم مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاء فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُّقْتَدِرًا ﴿٤٥﴾
"Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia) bahwasanya kehidupan dunia ini bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka tumbuh-tumbuhan di bumi menjadi subur karenanya, kemudian tumbuh-tumbuh itu menjadi kering dan diterbangkan oleh angin. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. al-Kahfi [18] : 45)
Firman-Nya yang lain:
إَنَّ الَّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَاءنَا وَرَضُواْ بِالْحَياةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّواْ بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ ﴿٧﴾ أُوْلَئِكَ مَأْوَاهُمُ النُّارُ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ ﴿٨﴾
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Tempat mereka itu ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. Yunus [10] : 7-8)
Rasulullah shallahu alaihi wassalam bersabda:
"Celakalah budak dinar, celakalah budak dirham, celakalah budak perut, yaitu orang-orang yang jika diberi ia senang, namun jika tidak diberi ia murka, celakalah, dan terbalik. Jika tergores oleh ujung pedang ia membantah. Beruntunglah seorang hamba yang memegang tali kekang kudanya di jalan Allah, yang kusut rambutnya, berdebu kakinya, namun jika ia bertugas menjaga, ia tetap setia dalam tugasnya, jika ia meminta izin tidak diberi dan jika memohon pertolongan tidak ditolong." (HR. Bukhari)
Hasan al-Basri ra berkata, "Barangsiapa yang menyaingimu dalam masalah agama, maka saingilah dia, namun barangsiapa yang menyaingimu dalam masalah dunia hempaskanlah dunia ke lehernya." (Ihyaa Uluumuddin, al-Gazali). Wallahu'alam.

Cara Pandang Masyarakat Terhadap Para Penghafal Al – Qur’an masa kini



Waktu pagi menjelang siang,  ada sekumpulan ibu – ibu yang sedang berbelanja, asik memang kalau kita menyaksikan ibu – ibu berkumpul,  pasti ada yang seru untuk jadi bahan obrolan. Kebetulan saat itu ibu – ibu pada pusing untuk mencarikan sekolah anak – anak mereka. Tak lama kemudian disela – sela berbelanja,  terjadilan obrolan yang seru tentang rencana menyekolahkan anaknya masing – masing. Saat itu Bu yono ( nama samaran ) mengawali obrolan mengatakan : “Bu , maaf ya saya tidak bisa ikut rapat PKK nanti, sebab saya mau mencarikan sekolah anak saya ke sekolah Favorit yang dekat Lapangan Stadion“  Kemudian ada ibu yang menyela bertanya : “Lho….bu Yono,  mengapa tidak ke pondok pesantren saja, kan lebih dekat dari kampung kita ?, lagiankan anak kita nanti bisa baca Al – Qur’an ?” Wah gimana ya bu, ……. kalau ke Pondok pesantren takutnya sih pendidikannya kurang baik, terus nanti kalau lulus mau kerja apa ? Lagian kalau ingin bisa ngaji, tidak ke Pondok juga bisa !, disamping itu Pondok pesantren sekarang mana ada yang baik ? jika dibandingkan dengan sekolah favorit saat ini ? ”Jawab bu Yono berargumen

Pembaca yang budiman …..obrolan ibu – ibu di atas, barangkali sering kita dengar di sekitar lingkungan tempat tinggal kita, bahkan boleh jadi kita termasuk orang yang sependapat dengan bu Yono di atas. Argumentasi bu Yono ini setidaknya menjadi cermin bagi kita,  untuk melihat kenyataan yang ada ditengah – tengah masyarakat, bahwa masyarakat saat ini masih kurang termotivasi untuk membekali anak – anak mereka dengan bekal – bekal ilmu agama. Pendapat Bu yono dalam merencanakan sekolah anaknya patut untuk kita sikapi dengan bijaksana, mengingat upaya kita memberikan informasi pada masyarakat masih terlalu minim dibandingkan dengan derasnya arus informaasi yang diserap masyarakat. Pendapat Bu Yono di atas hanyalah salah satu contoh,  dari sekian pendapat atau ungkapan yang berkembang ditengah – tengah masyarakat. Kalau kita mengetahui kenyataan ini dan berhadapan langsung dengan tipe – tipe orang yang memiliki pendapat, sebagaimana pendapat bu Yono, apa kira – kira yang bisa kita perbuat ? Apa sekedar memberikan argumentasi balik ? Sementara itu,  banyak masyarakat kita yang masih cenderung berpikir secara praktis, dalam arti mereka hanya bisa kita jelaskan dengan bukti nyata. Maka, alangkah beratnya usaha kita untuk memberikan penjelasan, kalau kenyataannya bukti nyata terlalu sulit untuk kita paparkan dihadapan khalayak.  
Dengan adanya fenomena tersebut,  mengharuskan kita untuk tidak menutup mata dan telinga rapat – rapat, kalau kenyataanya cara pandang masyarakat terhadap para penghafal Al Qur’an masih keliru dan cenderung apriori. Sikap apriori ini sebagai pertanda,  bahwa masyarakat masih terlalu dini untuk diajak peduli dengan hadirnya penghafal Al Qur’an. Sehingga untuk saat ini,  barangkali belum saatnya menuntut banyak peran aktif masyarakat, tetapi bagaimana para penghafal Al Qur’an yang justru proaktif dalam berinteraksi dengan masyarakat. Sehingga pada akhirnya masyarakat merasakan betul kemanfaatan dengan hadirnya para penghafal Al Qur’an ini. 
Melihat kondisi di atas, jika diperbandingkan dengan negara di Timur Tengah yakni negeri asal mula Islam lahir, maka semangat masyarakat dalam menghafal Al Qur’an masih sangat kurang. Contohnya barangkali,  pernah ada seorang ustadz atau sering di tempat kita disebut seorang Kyai ( orang yang ahli agama ) melakukan ibadah umroh, kebetulan saat itu beliau berbincang – bincang dengan salah seorang jama’ah dari negara lain, dengan menggunakan dialek bahasa Arab. Singkat cerita,  Kyai kita ini sangat kagum terhadap orang tersebut,  yang berprofesi sebagai seorang dokter, tetapi juga hafal Al Qur’an. Begitu pula sebaliknya seorang dokter itu pun terheran – heran dengan seorang Kyai kita, dengan mengatakan : “Anda seorang Kyai ( orang yang ahli agama ), tetapi tidak hafal Al Qur’an ?” tanya dokter tersebut dengan penuh keheranan.   
Inilah dua gambaran masyarakat yang sangat berbeda dalam merespon adanya para penghafal Al Qur’an, bahwa fenomena adanya seorang dokter yang hafal Al Qur’an sudah menjadi pandangan yang biasa masyarakat di sana. Sementara dalam komunitas masyarakat kita, lahirnya seorang penghafal Al Qur’an,  yang tidak melalui jenjang pendidikan tahfidz,  bisa dikatakan tidak ada, atau kalau pun ada,  masih bisa dihitung dengan jari. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Tak lain karena menghafal Al Qur’an sudah sangat memasyarakat di sana, sementara itu masyarakat kita masih sangat jauh,  bahkan bisa dikatakan masih kurang peduli.
Kesimpulannya, bahwa terjadinya fenomena di atas disebabkan masyarakat kita saat ini masih keliru dan kurang termotivasi dengan hadirnya para penghafal Al Qur’an. Apalagi sampai bersemangat menyekolahkan anak – anak mereka  ke pondok pesantren, terlebih lagi pondok pesantren yang mengkader dan membina para santrinya menjadi penghafal Al Qur’an.
Minimnya antusias masyarakat mendidik anak – anak mereka menjadi penghafal Al Qur’an,  setidaknya bisa dimaklumi,  mengingat kesadaran yang ada pada masyarakat tentang urgensinya menjadi penghafal Al Qur’an belum menyentuh seluruh sisi kehidupan masyarakat. Maka wajar,  kalau kita mendapati penghargaan serta rasa simpati umat terhadap para penghafal Al Qur’an, sangat jarang ditemukan pada masyarakat kita. Terlebih lagi rasa bangga seandainya anak – anak kita menjadi penghafal Al Qur’an. Seakan – akan kebanggaan itupun sirna jika dibandingkan dengan berbagai harapan lainnya, misalnya jadi pejabat, dokter, dosen, sarjana dan lainnya, daripada hanya sekedar menjadi pengahafal Al Qur’an. Masyarakat kita barangkali berpikir, apa sih yang bisa diharapkan dari seorang penghafal Al Qur’an ? Apa ada perusahaan yang mau menerima karyawan, dengan syarat hafal Al Qur’an ?  
Ya….. saya katakan hanya sekedar menjadi penghafal Al Qur’an ?!, barangkali inilah ungkapaan yang sebenarnya dari pandangan masyarakat kita terhadap hadirnya penghafal Al Qur’an,  namun hal ini tidak kita disadari sama sekali. Dari cara pandang ini, tentunya berpotensi untuk menimbulkan implikasi lainnya, salah satu yakni menimbulkan perasaan kurang peduli, kurang antusias, kurang termotivasi dan lain – lain. Atau mungkin masyarakat menilai, bahwa kemampuan yang dimiliki seorang penghafal Al Qur’an hanya sekedar menghafal Al Qur’an semata ? Kalau mungkin seperti ini faktanya, kita akan banyak menjumpai ditengah masyarakat ungkapan yang mengatakan “Wah ….. bisanya hanya menghafal Al Qur’an saja ?! Sementara kemampuan yang lain ….nol besar ? “Sungguh ironis kalau ungkapan ini kenyataannya ada ditengah masyarakat kita saat ini. Padahal mampunya seseorang menghafal Al Qur’an adalah kemampuan yang patut dibanggakan, sementara kemampuan lainnya, Insya’ Allah mudah kita dapatkan. Tapi dengan catatan, bahwa selesainya kita menghafal Al Qur’an bukanlah akhir untuk mengembangkan potensi dan kemampuan kita yang lain, wallahu a’lam.
Dari persoalan di atas, yang jelas bahwa masyarakat saat ini memiliki cara pandang yang kurang jernih dengan hadirnya para penghafal Al Qur’an. Kurang jernihnya masyarakat dalam memandang hadirnya sosok penghafal Al Qur’an,  banyak faktor yang mendasarinya, antara lain
1.  Kurangnya dakwah kepada masyarakat tentang urgensinya menghafal dan menjaga Al – Qur’an
           Kurangnya mendakwahkan Al – Qur’an terutama dengan menghafalnya, sangat dirasakan ditengah – tengah masyarakat. Karena memang prosentase mendakwahkan Al – Qur’an dengan menghafal, jika dibandingkan dengan berbagai acara dakwah lainnya,  barangkali menempati urutan yang paling akhir. Coba pembaca ingat baik – baik,  dari sekian ustadz atau pun ustadzah, dari penceramah satu kepada pencerahan yang lainnya, kita jarang menjumpai yang mengupas secara tuntas akan seluk beluk dunia para penghafal Al – Qur’an ini. Hal ini memang sangat wajar,  apabila dirasakan, mengingat ustadz atau ustadzah yang memiliki kapasitas dan kredibelitas untuk menyuarakan urgensinya menghafal Al – Qur’an ditengah – tengah masyarakat masih sangat langka.
          Maka apabila terjadi kurang rasa simpatik dari masyarakat terhadap lahirnya para penghafal Al – Qur’an adalah hal sangat lumrah didapatkan. Sudah seharusnya dengan kondisi masyarakat yang belum mengerti benar terhadap urgensinya menghafal Al – Qur’an,  harus memacu kepada kita untuk lebih giat mendakwahkan Al - Qur'an dengan menghafalnya.
          Sehingga akan diperoleh kemanfaatan bersama antara penghafal Al – Qur’an dengan masyarakat. Sebab para penghafal Al – Qur’an dengan masyarakat, tidak akan mungkin bisa dipisahkan satu sama yang lain.
  Rosulullah SAW bersabda dari Usman bin Affan ra:
  “Orang yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al – Qur’an dan mengajarkannya”

2.  Minimnya literatur atau buku rujukan yang ada hubungannya dengan dunia para penghafal Al – Qur’an
                        Minimnya literatur atau buku rujukan yang membahas secara detail kehidupan para penghafal Al – Qur’an,  menjadi salah satu sebab mengapa masyarakat kita kurang antusias menghafal Al – Qur’an ? Buku – buku yang beredar di pasaran umumnya buku yang membahas persoalan – persoalan agama lainnya, misalnya fiqh, aqidah, hukum dan lain-lain. Dan jarang kita mendapati berbagai buku yang mengupas secara tuntas dunia para penghafal Al – Qur’an.
                        Kalau sudah demikian, lalu dari mana masyarakat akan mendapatkan informasi yang jernih terhadap hadirnya para penghafal Al – Qur’an ? Mendakwahkannya tidak kita lakukan, sementara mencari buku yang membahas tentang dunia para penghafal Al – Qur’an pun,  juga tidak kita dapatkan, lalu dari mana lagi umat akan paham dan punya rasa memiliki dengan hadirnya para penghafal Al – Qur’an ? Sungguh ini adalah sebuah muskilah ( permasalahan ).
                        Pembaca yang budiman, ini adalah permasalahan  kita bersama yang membutuhkan dukungan dari semua pihak, alangkah indahnya jika banyak bermunculan karya – karya umat yang membahas tentang dunia para penghafal Al – Qur’an ini. Sehingga masyarakat akan sangat mudah mendapatkan informasi yang jernih dan memotivasi dengan hadirnya para penghafal Al – Qur’an. Setidaknya hadirnya buku ini akan merangsang motivasi umat untuk berkarya, harapan penulis nantinya banyak bermunculan karya yang membahas dunia para penghafal Al – Qur’an dari berbagai penulis dan penerbit.

3.   Kualitas pendidikan Pondok Tahfidzul kurang baik
      Sebab lainnya yang menjadi faktor masyarakat enggan mendidik anaknya untuk paham ulumuddin, terlebih lagi mendidiknya menjadi penghafal Al – Qur’an, barangkali mutu dan kualitas pendidikan yang kurang baik. Akibat kurang baiknya mutu pendidikan yang diterapkan terlihat pada buruknya hasil lulusan dari lembaga pendidikan tersebut.
         Pembaca yang budiman, menghadapi persoalan ini, tentunya mengharuskan kita untuk kembali bercermin diri dari kenyataan yang ada saat ini, tak lain karena kurang baiknya mutu pendidikan. Implikasi buruknya mutu pendidikan yang diterapkan, barangkali salah satunya keengganan para orang tua untuk menitibkan anaknya agar dididik menjadi penghafal Al - Qur’an.
         Kenyataan ini semestinya menambah kepekaan kita terhadap dunia pendidikan, yakni dengan cara membenahi, dengan berbagai metode, cara, kiat yang membangun serta kemampuan yang mampu menjawab tututan kebutuhan zaman. Kita harus tunjukkan,  bahwa seorang penghafal Al – Qur’an tidak kalah dengan lainnya, justru punya nilai lebih dihadapan masyarakat, terlebih lagi dihadapan Allah SWT.
         Tetapi sayangnya banyak kita jumpai, pendiri, pengurus dan pengajar berbagai lembaga Islam tidak memiliki visi pendidikan yang baik, terlebih lagi visi pendidikan tahfizh. Sehingga proses pendidikannya pun berjalan alami, seakan – akan berjalannya tanpa adanya kendali. Padahal perjalanan pendidikan yang alami, terlebih lagi pendidikan pada pondok pesantren yang runititasnya berjalan selama 24 jam, akan menimbulkan implikasi jangka panjang yang cukup fatal. Terutama lagi yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak – anak usia dini.
         Tidak seriusnya kita mengelola pendidikan, akibat jangka panjang yang dirasakan adalah perubahan sikap, prilaku dan pola pikir. Perubahan ini bersifat sangat abstrak, tanpa kita sadari. Padahal kehidupan mereka berlangsung tahunan, sehingga jangan heran kalau maksud baik kita mendidik anak ini, ternyata justru “merebut” paksa hak – hak anak pada orang tuanya. Hal ini terjadi karena kita menyelenggarakan dan mengelola pendidikan seperti sebuah “permaian” semata.
         Kalau kita berdangang dan kemudian mengalami kerugian, kerugian ini bisa kita kalkulasi, seberapa besar kerugian kita. Kalau kita bertanding dalam kejuaraan, tentunya kekalahan itu bisa kita rasakan. Tetapi bagiamana dengan pendidikan yang gagal ? Apa bisa kita kalkulasi sebagaimana dagangan yang rugi  ? Atau pertandingan yang gagal kita menangkan ?      
           
4.   Masih adanya rasa khawatir atau takut terhadap masa depan anaknya jika dididik menjadi penghafal Al – Qur’an
            Adanya rasa khawatir yang menghinggapi para orang tua yang akan mendidik anak – anaknya untuk menjadi penghafal Al – Qur’an adalah wajar, karena orang tua yang bertanggungjawab pertama kali terhadap pendidikan anak – anak mereka. Terutama dalam membekali anaknya untuk menghadapi masa depannya kelak,  yang sangat berbeda dengan apa yang pernah dihadapi orang tua.
            Perasaan khawatir, rasa takut, gelisah dan lainnya, sudah merupakan bagian dari diri manusia, sehingga Dienul Islam yang mulia ini pun,  tidak mematikan perasaan di atas dalam diri manusia. Akan tetapi Islam mengarahkan perasaan khawatir, takut, gelisah ini sesuai pada tempatnya ( secara Proposional ). Sehingga bisa dipahami bersama,  bahwa adanya perasaan di atas,  bukanlah suatu keburukan atau pun pertanda kelemahan seseorang, tinggal bagaimana kita mampu bersikap sesuai dengan apa yang ditetapkan syare’at Islam.
            Karena memang rasa takut ini merupakan ungkapan tentang derita hati dan kegundahan, karena ada sesuatu yang tidak disukainya yang akan terjadi pada masa mendatang.[1]
           
Dalam hal ini Islam membangi perasaan takut di atas menjadi tiga hal, yakni :
a.    Perasaan khawatir atau takut yang dilarang ( Tidak diperbolehkan secara syar’i )
1.     Khauf sirri ( I’tiqadi )
Yaitu orang takut pada selain Allah, baik kepada patung, berhala, orang yang telah mati, mayat yang dikubur, thaghut, makhluk yang tidak ada dihadapannya dari jin maupun manusia, tempat dan barang yang dikeramatkan dan lain – lain, ( akan menimpakan bencana ( kesusahan / sesuatu yang tidak disukai ) secara sirr / rahasia ). Khauf sirr ini termasuk dosa yang besar, bahkan termasuk syirik akbar ( syirik besar ) yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam.
Sebagaimana dalam firman Allah SWT : “Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba – hambaNya ? Dan mereka ( orang – orang kafir ) mempertakuti kamu dengan ( sembahan – sembahan ) yang selain Allah. Dan siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.”   ( Qs. Az – Zumar : 36 )[2]

2.     Khauf ‘amali
Yaitu seseorang yang meninggalkan sesuatu atau amalan yang wajib atau melakukan sesuatu atau amalan yang haram karena takut kepada manusia. Hal ini termasuk syirik ashghar ( syirik kecil ) yang meniadakan kesempurnaan tauhid
Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda : “Janganlah salah seorang dari kalian menghinakan dirinya, yaitu jika dia melihat satu perkara yang menjadi hak Allah dan menjadi kewajibannya dibicarakan, kemudian tidak mengatakannya. Maka Allah akan bertanya ( kepadanya pada hari kiamat ) :” Apa yang menghalangimu untuk mengatkannya ?”, kemudian dia akan menjawab :”Rabbku, aku takut kepada manusia”. Maka Allah berfirman : “Hanya Akulah yang paling berhak engkau takuti.” ( HR. Ahmad III/ 27,29.77, Ibnu Hibban No. 185 dan Ibnu Majah No. 4008, dishohihkan oleh Al – Bani di dalam Shahih Al – Jami’ No. 1814)[3]

3.     Takut secara khayalan
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as – sa’di berkata :”Dan jika takut itu adalah takut secara khayalan, seperti takut tanpa sebab yang mendasar atau takut dengan sebab yang lemah maka ini adalah takut yang tercela, yang menjadikan pelakunya termasuk orang – orang yang penakut. Rosulullah SAW telah mohon perlindungan pada Allah dari sifat penakut ini, karena termasuk akhlaq yang buruk. Dengan demikian keimanan yang sempurna, tawakal dan sifat pemberani akan menolak jenis sifat penakut ini.”[4]

Perasaan khawatir dan takut dalam tiga hal di atas Islam sangat melarang dengan keras, permisalan lainnya barangkali perasaan takut miskin, takut kelaparan, takut dengan masa depan kita dan lain – lain, sementara kita sedang berusaha mendalami dan melaksanakan agama Allah SWT. Mengapa Islam sangat melarang perasaan ini muncul dari benak seorang muslim ? Ada beberapa pijakan dasar yang seharusnya kita yakini, antara lain :
1.    Allah SWT memberikan apa yang ada di bumi ini untuk manusia
2.    Dalam mengelola bumi manusia diberi karunia Allah dengan akal pikiran yang membedakan dirinya dengan hewan
3.    Agar manusia lurus dalam mengelola dan memakmurkan bumi ini, Allah memberikan petunjuk melalui kitabNya dengan penjelasan seorang Nabi dari jenis manusia
4.    Allah SWT memberikan janji kepada hambaNya yang taat dengan balasan yang baik, sementara akan memberikan balasan pada hambaNya yang buruk dengan balasan yang buruk pula.
5.    Allah SWT memberikan apa saja bagi hambaNya, asal disertai dengan adanya rasa tawakal yang benar kepada Allah SWT
6.    Allah SWT tidak akan menyia – yiakan hambaNya yang memperjuangkan agamaNya di dunia maupun di akhirat

b.    Perasaan khawatir atau takut yang dibenarkan    
            Adalah rasa takut kepada Allah yang sebenarnya dan yang terpuji yakni rasa takut yang menghalangi pemiliknya dari apa – apa yang diharamkan oleh Allah SWT dan mendorongnya untuk melaksabakan perintah – perintahNya.
Sebagaimana Rosulullah SAW bersabda : “Barangsiapa takut niscaya dia berangkat diwaktu akhir malam, dan barangsiapa berangkat diwaktu akhir malam niscaya dia mencapai tempat tujuan. Ketahuilah sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal, ketahuilah sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga.” ( HR. Bukhori, hadits shohih dengan syahidnya )[5]

c.     Perasaan khawatir atau takut secara Naluri ( tidak terlarang )
Perasaan ini ada pada setiap orang, tak terkecuali Rosulullah SAW, lalu apa yang menjadikan boleh memiliki perasaan di atas ? Ambillah contoh,  jika istri kita berada sendirian dalam rumah, padahal saat itu hujan sangat lebatnya yang disertai dengan guntur, sementara tidak ada sang suami atau keluarga lainnya, sudah bisa dipastikan perasaan khawatir dan takut seringkali menghinggapi diri sang istri, begitu pula dengan sang suami yang meninggalkannya seorang diri, pasti tidak kalah khawatirnya. Contoh lain,  barangkali kita takut atau khawatir terhadap binatang buas saat berada di tengah hutan sendirian, sementara tidak ada yang menemaninya. Ini contoh gambaran perasaan khawatir atau takut yang menghinggapi setiap orang tak terkuali saya dan pembaca.

            Maka dari penjelasan yang berhubungan dengan rasa takut di atas, bisa kita simpulkan,  bahwa perasaan khawatir dan takut miskin, takut kelaparan dan lain – lain, sementara kita berjuang membela agama Allah SWT tidak dibenarkan oleh Islam,  karena kita masih punya harapan yang banyak, yakni hanya kepada Allah saja kita berharap dan bertawakal.
           
            Dari hal ini seandainya kita kaitkan dengan keinginan menjadi penghafal Al – Qur’an, sudah tentu kita atau para orang tua seharusnya tidak perlu merasa khawatir dengan masa depan anaknya seandainya menjadi penghafal Al – Qur’an. Insya’ Allah, Allah tidak akan menyia-yiakan hambaNya yang berjuang dan berkorban demi terjaganya kemurnian dan keaslian Al – Qur’an. Kepada siapa lagi kita berharap agar Al – Qur’an ini terjaga keasliannya, kalau bukan kepada para penghafal Al – Qur’an.
             Dan fadhilah menghafal Al – Qur’an ini akan banyak kita temukan dalam kehidupan masyarakat, walaupun tidak mesti fadhilah menghafal Al – Qur’an ini ditandai dengan banyak harta serta kemuliaan dunia yang kasat mata semata. Tetapi ada fadhilah lain yang tak kalah pentingnya yakni berupa ilmu dan keutamaan di dunia maupun di akhirat. Dan boleh jadi keutamaan itu, pada akhirnya akan berimbas tidak hanya bagi diri kita semata, tapi juga pada keluarga dan generasi penerusnya. 







[1] Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, hal 387
[2] Majalah As – Sunnah Edisi 05 Th. IV / 1420 – 2000, hal 15
[3] Ibid, hal 16
[4] Ibid
[5] Ibid, hal 16

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan